Evaluasi Edisi Februari!
Tidak semua orang bisa menyeimbangi kemampuan verbal dan nonverbal.
Terkadang ada orang yang mahir menulis namun sedikit sulit mengungkapkan
idenya lewat verbal. Begitupun sebaliknya. Tapi, apalah guna jika salah
satu dari kedua kemampuan itu tidak diaplikasikan. Hanya sekedar
wacana, itu biasa.
Disebuah lembaga yang sedang saya
geluti. Hal ini menjadi perdebatan keras. Jelas, karena terbukti dengan
kurang produktifnya anggota. Dan yang lebih fatal lagi kemoloran akut dateline produk. Padahal produk adalah citra lembaga.
Wacana yang berekspektasi tinggi sangat saya apresiasi. Namun untuk tatanan aplikasi, belum ada kejelasan bagaimana strategi meraih tujuan. Ini hanya onani wacana. Dan melihat pada kacamata komunikasi ini tak lebih sebagai pencitraan.
Berbicara
masalah produk bagi saya itu adalah sebuah harga diri. Pihak internal dan eksternal memperhitungkan dan menilai keberadaan lembaga dari hasil kreativitas kami yaitu media. Saya menganggap media kami adalah kreativitas karena bukan laiknya media mainstream.
Jika saya
rentetkan, keterlambatan ini lagi-lagi karena kurangnya kesadaran dan
tanggungjawab setiap anggota. Hal pertama terlihat saat jadwal rapat
redaksi. Dari total seluruh anggota yang mencapai angka 33 yang hadir
hanya tiga atau bahkan tidak sama sekali.
Beberapa kali
hal ini menjadi pemakluman dengan berbagai macam alasan yang tidak
begitu penting. Selain itu saat pengumpulan data pun kembali, ketepatan
waktu tidak dihiraukan. Entah apa yang salah, kebijakan kah atau
personalkah?
Saya percaya kepada seluruh pempinan dan
seluruh anggota. Mereka sudah menjalankan tugas. Tapi kemudian
permasalahnnya apakah tugas yang dijalankan itu sesuai atau tidak?
It's My Track
Jujur
saya kesal jika terus menerus dituntut. Bukan berarti saya egois.
Maksud saya begini, setiap pempinan tentunya sudah memiliki rancangan
program dan pembagian kerja. Tapi mengapa tetap menekan
kebijakan pada divisi lain.
Bagi saya sendiri,
laksanakan saja apa yang menjadi tugas setiap divisi. Ketika ada ide
baru maka cukup berikan kritik dan solusi. Jangan turut campur. Ini akan
menjadi ketidakjelasan jobdesc. Saya bangga jika dikritik. Ini memicu saya untuk total dalam bertugas. Tapi bukan berarti harus diatur.
Pada akhirnya terbukti. Ketika dateline sudah didepan mata
kumpulan materi bercecer kembali. Takdir ini kemudian digantungkan pada
satu divisi. Lalu dimana letak tanggungjawabnya? Bukankah ini
tanggungjawab bersama? Atau inikah bukti bahwa "kami" sudah melaksanakan
tugas dan keterlambatan bukan permasalahan "kami"? Itukah? BANCI. Ketika
itu, semua melindungi diri. Mendadak hilang dari peradaban dan pura-pura
sok pahlawan.
Lunturnya Kultur
Saya pun kadang merasa bingung. Ketidakpedulian ini berakar dari mana. Mungkinkah kultur kami sudah hilang? Atau memang tuntutan lain dari setiap individu yang kami hiraukan? Entah.
Hidup di lingkungan kampus kini seperti menuntut kami sebagai mahasiswa hanya memprioritaskan akademik saja. Padahal akademik tidak akan berpengaruh banyak. Rajin mengerjakan tugas dan menulis skripsi yang sempurna tidak menjamin kehidupan setelah menyandang gelar sarjana lebih baik.
Forum diskusi dan tempat untuk berdiskusi pun sudah bergeser dengan fungsi lain. Tak ada yang nyaman kini. Peradaban terkikis kebijakan. Selain itu memang, basecamp tempat kami berkumpul jaraknya cukup jauh. Barangkali itu faktor utamanya. Padahal ikatan emosional akan terjalin karena komunikasi. Mungkin mereka belum sadar akan hal ini.
Saya rindu bermalam minggu bersama. Makan gorengan. Menghabiskan segelas kopi bersama. Makan malam seribu pertama dan mencerca sebagai latihan mental. Saya rindu. Ya, saya rindu. Baiklah. Celotehan ini pun akhirnya biasa saja. Tidak menjadikan hari ini ada data yang harus dikirim ke Pagarsih. Dan penantian esok untuk distribusi massal. Sial.
Komentar