Urat Syarafku Tegang

Tulisan kali ini kubuat agak sedikit kasar. Maaf ini tak seperti biasanya. Tidak akan panjang lebar. Cukup beberapa bagian saja. Aku sedang kesal dan urat syarafku tegang. Aku tidak begitu paham penyebab utamanya, tapi aku coba untuk mengevaluasi dari rentetan kejadian hari ini.


Angkot Tidak Mempunyai Mata 
Tadi pagi aku membuat janji dengan teman untuk pergi bersama ke markas besar para rangers. Kami menyepakati untuk bertemu di jalan depan rumahnya. Usai tiba disana, aku mengirim pesan untuk mengabarkan bahwa aku sudah sampai. Kemudian aku memarkirkan motor agak menyudut ke perbatasan trotoar.


Sambil menunggu, sesekali aku membuka ponsel berharap ada pesan masuk darinya. Kala itu aku sadar, di belakangku ada angkot yang sedang ngetem. Lalu aku berinisiatif memindahkan posisi motor. Tak berapa lama aku merasa ada pesan masuk pada ponsel. Kemudian ku baca. Ketika hendak membalas pesan tiba-tiba saja ponselku terjatuh. Seperti ada dorongan keras dari belakang, yang ternyata angkot itu menabrak bagian belakang motor.


Ponsel milik adikku yang baru saja merayakan imlek, terlempar sekitar satu meter. Baterai dan ponselnya terpisah, mereka bercerai berai. Lalu spontan aku berteriak.

 “Mang, kenapa harus ditabrak?”
Lalu dengan santainya supir angkot itu berkata.
“Ya maaf atuh neng”
Alhasil, ponselku pun berhiaskan desain zebra cross.
 
There is No Sense of Belonging or There is Something Wrong 
Sub judul diatas mungkin agak sedikit sok English. Tapi, hal itu memang benar adanya dan ini menjadi alasan kekesalanku yang kedua. Hari ini adalah hari yang dinanti-nanti. Diruang kecil berukuran kurang lebih tiga kali empat meter. Aku menjumpai beberapa tubuh yang sudah layu. Nampaknya mereka sudah berhari-hari begadang bahkan mungkin tidak tidur.


Dalam jadwal mingguan yang kubuat, hari ini adalah jadwal untuk pergi ke Pagarsih. Tapi ternyata hal itu harus diundur kembali dengan alsan yang sama. Jujur aku kesal bahkan sangat kesal. Bagiku edisi kali ini kemoloran jadwal yang tidak bisa ditolerir. Aku rasa ini bukan lagi pada tataran memaklumi tapi harus menyalahkan.


Memang, kuakui tempat ini bukan laiknya media mainstream seperti diluar sana. Tapi apakah tidak bisa kita mencontoh mereka? Dalam artian mencontoh ketepatan waktu, kesadaran dan tanggungjawab mengemban tugas. Hal itulah yang harus dihadirkan. Bagiku tempat ini adalah miniatur tempat yang sebenarnya. Jadi, anggaplah nyata bak sebuah media profesional.


Sumber dari hal yang mebuatku miris kemudian adalah kemiskinan sumber daya manusia. Krisis Loyalitas! Entah harus bagaimana lagi cara untuk merekatkan kami. Aku bingung. Tapi aku yakin, pada dasarnya mereka semua peduli dan ingat akan tempat ini. Tapi sayangnya hal itu tidak mereka tunjukkan.


Oke skip, rasanya tak baik terlalu banyak bergumam. Ini harus diselesaikan!


Idealitas sebagai Formalitas 
Membaca, menulis dan diskusi. Pada label mahasiswa ketiga unsur itu sangat melekat bahkan menjadi sebuah kebutuhan untuk menunjang dan mengasah kemampuan mengungkapkan gagasan berikut kritikan. Tentunya hal tersebut bisa dilakukan dimana saja termasuk di kelas. Kali ini jadwal kelasku hanya ada satu mata kuliah saja, skip. Mungkin ini faktor ketiga.


Satu pertanyaan besar yang sedari dahulu hinggap dikepalaku. Mengapa jumlah mahasiswa di jurusanku tidak boleh lebih dari dua kelas, sedang dijurusan tetangga bisa empat kelas? Padahal untuk menjadi seseorang yang bergerak dibidang tulis menulis siapapun bisa. Terbukti dengan adanya konten Citizen Journalism. Tetapi untuk menjadi seorang praktisi yang sesuai jurusanku tak banyak orang yang bisa. Kemudian, pertanyaanku terbentur pada jawaban ”sudah begitu kebijakannya”. Hait, ini tidak adil!


Beruntunglah ada beberapa mata kuliah yang menyeimbangi hal itu sehingga aku menjadi paham bagaimana cara bergelut dibidang tulis menulis. Aku menyimpan ekspektasi tinggi pada mata kuliah, skip. Bukan untuk dipamerkan atau diukur takaran bidang keilmuan kepada orang lain. Hanya saja aku ingin memastikan kebenaran atau minimalnya aku dapat benang merah dari apa yang aku baca, dengar dan aku lakukan. Jujur, pada bidang yang kugeluti pun aku tidak mengetahui jelas seperti apa ketentuannya. Sedikitpun belum pernah dibahas.


Aku selalu memiliki semangat tinggi untuk membahas perihal media. Alasan pertamaku jelas karena aku bergerak dibidang itu, yang kedua aku ingin mengukur takaran kepahaman ilmu yang aku miliki. Aku selalu menyesal ketika berada pada fase dimana aku tidak tau apa-apa padahal aku berkecimpung dibidang yang dimaksud dan pada akhirnya aku merasa lemah. Lalu dendam dengan semangat untuk menggali dan mencari kejelasannya. Ini seperti pembuktian dan rasa tanggungjawab pada diri sendiri. What ever, terlepas dari pandangan orang yang mengatakan itu hanya pencitraan atau gengsi semata. I don’t care - -‘


Satu setengah jam ruangan ini digaungi lantunan kata. Semua saling bersahutan. Aku melihat dari beberapa penggambaran dan penjelasan. Hampir dari kesemuanya mengatakan hal yang serupa. Tapi satu hal yang mereka lupakan, pengemasan. Awalnya aku tidak begitu mempermasalahkan, namun sebuah catatan tentang pengemasan surat kabar membuat aku gereget ingin mengoreknya. Aku melemparkan beberapa pertanyaan perihal hal tersebut tapi kemudian jawabannya tidak menyinggung pahamku. 


Ini yang disayangkan. Jurusan tetangga dihadirkan mata kuliah pengemasan media sedang jurusanku tidak. Jelas-jelas keduanya berkesinambungan. Bukankah harus ada pengenalan dasar membuat media dulu sebelum manajemennya. Toh jurusanku dengan tetangga kan hampir serupa bila pada tataran media. Ini benar-benar menyedihkan, padahal itu penting dan aku sirik :(


Lama bertukar kata dan menarik kutipan dari beberapa pakar. Akhirnya aku menyimpulkan bahwa tidak semua orang yang bergerak dibidang media paham benar bagaimana aturan dan manajemen penerbitannya. Selain itu aturan yang sudah dibuat tak lebih dari sekedar formalitas karena buktinya tak banyak yang menggunakan.


Ah sudah, jangan terlalu lama membahas. Tapi apapun, aku harus tau dan lebih tau!


Menumbuhkan Kesadaran dan Tanggungjawab itu SULIT! 
Benarkah? Nampaknya begitu dan rasanya ini point terakhir yang akan kuutarakan. Oke. Untuk beberapa hal terutama yang baru saja kualami aku setuju dengan kalimat itu. Ternyata memang benar, perasaan memiliki itu sudah meluntur atau mungkin belum tumbuh bahkan tidak ada sama sekali. Ini suudzonnya aku dan jangan ditiru, please.


Tepat pukul empat sore aku membuat janji untuk bertemu dengan beberapa orang. Ada hal serius yang harus aku bicarakan berikut ada penghargaan yang ingin kuberikan. Namun semua menjadi nihil. Tak ada sapa, tak ada kata. Semua hilang. Padahal pepatah menurut orang sunda “hade goreng ge ku basa” maksudnya mau itu baik atau buruk baiknya sampaikan. Tapi sudahlah, tak baik diucap tak pula harus dirasa. Semua kembali pada kesadaran dan tanggungjawab dari masing-masing individu.


Semua hanya gerutuanku saja, tak lebih. Sedikitpun aku tidak bermaksud memojokkan pihak lain. Tulisan ini pure sebagai penuang sekaligus penawar keresahan dan bahan evaluasi. Maka dari itu tak banyak yang kuungkap. Intinya, aku sudah tahu bahwa malam semakin larut dan jam dinding menunjukkan pukul dua pagi. Jadi aku harus segera berselancar di samudera mimpi. Baiklah, selamat mengkeriting bulu mata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Evaluasi Edisi Februari!

Bermalam di Bandung Barat